DISINFEKSI DAN STERILISASI ENDOSCOPY


Bab i
pendahuluan


Kasus infeksi penyakit (infeksi nosokomial) di rumah sakit (RS) masih kerap terjadi diIndonesia. Berdasarkan riset yang dilakukan di 11 RS di Jakarta menunjukkan terdapat 9,8%  pasien rawat inap terserang infeksi baru  terkait  pelayanan  kesehatan. Infeksi nosokomial adalah infeksi silang yang terjadi pada perawat atau pasien saat dilakukan perawatan di RS.
Beberapa contoh yang sering terjadi adalah:
      1.     Infeksi luka bedah,
      2.     Infeksi saluran kemih, dan
      3.     Saluran pernapasan bagian bawah (pneumonia).
Tingkat paling tinggi terjadi di unit perawatan khusus, ruang rawat bedah dan ortopediserta pelayanan obstetri (seksio sesarea).  Kasus  infeksi nosokomial pada pasien menyebabkan waktu rawat inap semakin lama dan bahkan menimbulkan kematian. Kejadian nosokomial rentan terjadi pada pasien yang baru menjalani operasi melalui alat seperti kateter dan selang infus. Selain dari alat yang tidak steril, pasien bisa terinfeksi dari pengunjung atau petugas RS yang tengah sakit.   Infeksi  nosokomial bisa terjadi setelah 48 jam (dua hari). Misalnya, ada pasien anak dirawat karena diare, kemudian pada hari ketiga tiba-tiba muncul infeksi baru, seperti infeksi paru.
Sarana pelayanan kesehatan dituntut untuk mengatasi problem tersebut. Dalam standar akreditasi rumah sakit versi KARS 2012 menekankan adanya pengendalian infeksi dalam rumah sakit sebagai salah satu standar. Pembentukan tim PPI merupakan yang wajib di lakukan rumah sakit. Dalam kaitanya dengan hal tersebut, PPI bertanggung jawab terhadap unit CSSD atau yang sejenis dalam hal pengendalian Sterilisasi alat. Selain hal tersebut PPI juga bertanggung jawab terhadap penurunan kejadian infeksi nosokomial. Meihat realitas tersebut, maka wajib hukumnya bagi tenaga kesehatan memiliki pengetahuan yang tepat terkait masalah Sterilisasi dan Disinfeksi.


Bab ii
Pembahasan


     A.    Disinfeksi dan Sterilisasi flexible endoscopy
Proses Sterilisasi dan Disinfeksi pada peralatan medis berbeda-beda sesuai dengan tingkat risikonya. Peralatan medis dikategorikan dalam tiga klasifikasi yaitu berisiko tinggi (critical), menengah (semi-critical), dan rendah (non-critical). Peralatan medis yang berisiko tinggi merupakan peralatan yang kontak langsung dengan jaringan atau darah sehingga membutuhkan keadaan steril melalui proses Sterilisasi.
Peralatan medis yang berisiko menengah merupakan peralatan yang kontak dengan membran mukosa atau kulit yang tidak intak dan membutuhkan teknik Disinfeksi tingkat tinggi. Peralatan yang berisiko rendah merupakan peralatan yang hanya kontak dengan kulit yang utuh sehingga cukup dilakukan teknik Disinfeksi tingkat rendah. Berdasarkan risiko tersebut, Endoskopi saluran cerna termasuk dalam peralatan medis dengan risiko menengah sehingga membutuhkan teknik Disinfeksi tingkat tinggi (Cotton dan Williams, 2008; Spicer, 2008).
Proses Disinfeksi tingkat tinggi Endoskopi saluran cerna dibedakan menjadi tiga tahap. Ketiga tahap tersebut yaitu: 1) sebelum proses, meliputi pencucian manual; 2) proses, berupa teknik Disinfeksi tingkat tinggi dan pembilasan; 3) setelah proses, berupa pengeringan dan penyimpanan (Spaun et al., 2010).
1)   Pencucian
Pencucian secara manual dilakukan pada permukaan bagian commit to user  dalam dan bagian luar. Mula-mula Endoskopi saluran cerna direndam dan dibilas untuk menghilangkan kotoran, darah, maupun jaringan yang menempel. Proses pencucian meliputi menyikat bagian dalam dan membilas dengan air dan deterjen atau pembersih yang mengandung enzim. Pencucian merupakan langkah utama sebelum Disinfeksi secara manual maupun otomatis. Penyikatan Endoskopi saluran cerna dilakukan menggunakan kain lembut, spon, atau sikat sampai tidak terdapat sisa kotoran pada sikat (Rutala dan Weber, 2004; Greenwald, 2007).

2)   Disinfeksi Tingkat Tinggi
Endoskopi saluran cerna direndam dalam cairan disinfektan untuk proses Disinfeksi tingkat tinggi dalam waktu tertentu. Semua bagian Endoskopi dipastikan harus terpapar dengan cairan disinfektan. Menurut Food and Drug Administration (FDA), disinfektan yang bisa digunakan untuk Endoskopi saluran cerna antara lain glutaraldehid, glutaraldehid dengan fenol, orto-phthalaldehid, hidrogen peroksida, asam parasetik, dan penggunaan hidrogen peroksida dan asam parasetik sekaligus (Food and Drug Administration, 2003).
Glutaraldehid dengan konsentrasi lebih dari 2,4% merupakan disinfektan yang paling banyak digunakan. Glutaraldehid digunakan pada suhu 25oC dengan waktu perendaman 45 menit. Beberapa prosedur menyebutkan penggunaan glutaraldehid dapat dilakukan selama 20 menit pada suhu 20oC (Greenwald, 2007).
3)   Pembilasan
Endoskopi saluran cerna dibilas dengan air steril atau air yang telah melalui proses filtrasi menggunakan filter dengan ukuran 0,2 µm. Kemudian dilanjutkan dengan pembilasan menggunakan 70-90% etil atau isopropil alkohol. Pembilasan dilakukan untuk menghilangkan cairan disinfektan pada Endoskopi saluran cerna dan mengurangi transmisi melalui air (Rutala dan Weber, 2004; Greenwald, 2007).
4)   Pengeringan
Endoskopi saluran cerna dikeringkan dengan udara bertekanan setelah diSterilisasi dan sebelum disimpan. Pengeringan merupakan salah satu cara untuk mencegah transmisi penyakit melalui air akibat adanya air yang menggenang di Endoskopi saluran cerna (Rutala dan Weber, 2004; Greenwald, 2007).
5)   Penyimpanan
Endoskopi saluran cerna disimpan dalam lemari yang terjaga dari kontaminasi. Endoskopi saluran cerna digantung dengan posisi vertikal untuk membantu proses pengeringan (Rutala dan Weber, 2004; Greenwald, 2007).
Endoskopi saluran cerna harus dalam keadaan steril apabila digunakan dalam proses operasi, meskipun secara umum Endoskopi saluran cerna hanya membutuhkan teknik Disinfeksi tingkat tinggi.
Untuk mencapai keadaan steril diperlukan prosedur tambahan dalam proses Disinfeksi tingkat tinggi Endoskopi saluran cerna. Setelah dilakukan Disinfeksi tingkat tinggi, Endoskopi saluran cerna dikirim ke bagian Sterilisasi alat operasi untuk dilakukan proses Sterilisasi. Endoskopi saluran cerna yang telah diSterilisasi kemudian diletakkan dalam kontainer steril tertutup dan dibawa ke ruang operasi. Peralatan aksesoris seperti botol air dan tabung harus melalui proses autoklaf terlebih dahulu sebelum dikirim ke ruang operasi (Spaun et al., 2010).
Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Disinfeksi Tingkat Tinggi Endoskopi Saluran Cerna
Menurut Association for Professionals in Infection Control and Epidemiology (APIC), infeksi eksogen di Endoskopi saluran cerna berkaitan dengan proses Disinfeksi tingkat tinggi (Association for Professionals in Infection Control and Epidemiology, 2011). Hal ini dipengaruhi juga oleh keterampilan petugas (Pineau et al., 2008). Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas Disinfeksi tingkat tinggi Endoskopi saluran cerna adalah sebagai berikut:
1)   Pemilihan Metode Disinfeksi Tingkat Tinggi
Pemilihan metode Disinfeksi tingkat tinggi dengan mesin otomatis dapat mengurangi kemungkinan terjadinya transmisi hingga 11% keluhan dibandingkan dengan metode Disinfeksi tingkat tinggi secara manual yaitu 67% atau semi-otomatis yaitu 60%. Hal ini dikarenakan mesin otomatis memiliki validasi untuk volume dan tekanan air, suhu, pH, waktu paparan dan, dosis disinfektan, sedangkan metode manual tidak memiliki standar yang pasti (Zuhlsdorf et al., 2002). Penggunaan mesin otomatis juga tetap dapat menjadi masalah apabila proses awal secara mekanik seperti preDisinfeksi, pencucian, pembilasan, maupun pemasangan dan pelepasan alat tidak sesuaiprosedur (Martiny et al., 2004).
2)   Teknik Pencucian Manual
Pencucian merupakan cara efektif untuk mengurangi mikroorganisme. Teknik pencucian yang tidak menyeluruh dapat menjadi penyebab transmisi penyakit, misalnya tidak membersihkan tabung bagian dalam, tanpa deterjen, tidak diulang hingga 2 atau 3 kali, tidak memastikan bahwa semua bagian Endoskopi saluran cerna terendam dalam deterjen, atau tidak mengalirkan deterjen ke dalam lumen (Rutala dan Weber, 2004; Barbosa et al., 2010). 
3)   Pemilihan dan Penggunaan Disinfektan
Pemilihan disinfektan yang digunakan untuk proses Disinfeksi tingkat tinggi sangat mempengaruhi kondisi Endoskopi saluran cerna. Setiap unit memiliki kebijakan untuk menentukan disinfektan yang akan digunakan. Setiap disinfektan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Selain pemilihan disinfektan yang digunakan, teknik yang diterapkan dalam proses Disinfeksi tingkat tinggi juga mempengaruhi efektivitas Disinfeksi tingkat tinggi. Cara penggunaan disinfektan yang dapat menyebabkan proses Disinfeksi tingkat tinggi menjadi tidak efektif antara lain tidak memastikan bahwa semua bagian Endoskopi saluran cerna terendam disinfektan dan waktu perendaman yang terlalu singkat (Barbosa et al., 2010).
4)   Proses Pembilasan
Hanya mencuci bagian luar dan tidak membilas bagian dalam menjadi salah satu penyebab proses Disinfeksi tingkat tinggi Endoskopi saluran cerna menjadi tidak efektif (Barbosa et al., 2010). Air yang digunakan untuk membilas dalam metode Disinfeksi tingkat tinggi mesin otomatis juga dapat menjadi masalah tersendiri. Air yang digunakan seperti air kran merupakan air yang tidak bebas kuman. Air tersebut dapat menjadi media pertumbuhan bakteri sehingga menyebabkan kontaminasi ulang pada Endoskopi saluran cerna (MacKay et al., 2002).
5)   Prosedur Pengeringan
Proses pengeringan dapat mempengaruhi efektivitas Disinfeksi tingkat tinggi Endoskopi saluran cerna. Penggunaan bahan pengeringan maupun cara pengeringan hanya mengeringkan bagian luar dan tidak menggunakan udara bertekanan menjadi penyebab proses Disinfeksi tingkat tinggi menjadi tidak efektif (Barbosa et al., 2010).
6)   Teknik Penyimpanan
Menurut Czech Hygiene Authorities, Endoskopi saluran cerna yang telah disimpan selama 12 jam harus dilakukan proses Disinfeksi tingkat tinggi ulang (Czech Hygiene Authorities, 1999). Kondisi almari yang tidak kering, tidak bersih, dan tidak didesain dengan ventilasi khusus, maupun peletakan Endoskopi saluran cerna tidak dalam keadaan vertikal dapat menjadi penyebab lain proses Disinfeksi tingkat tinggi menjadi tidak efektif (Pineau et al., 2008).
7)   Pengetahuan dan Keterampilan Petugas Endoskopi Saluran Cerna
Petugas yang melakukan tindakan dengan Endoskopi saluran cerna maupun melakukan proses Disinfeksi tingkat tinggi harus memiliki kompetensi dan pengetahuan mengenai penggunaan bahan kimia terkait biologis, kimia, dan lingkungan. Setiap petugas yang melakukan tindakan dengan Endoskopi saluran cerna hendaknya memakai peralatan sebagai proteksi seperti sarung tangan, jas lab, penutup mata, dan masker. Petugas yang tidak melakukan proteksi diri dapat menjadi salah satu jalur transmisi penyakit (Barbosa et al., 2010).





     B.    Disinfeksi Tingkat Tinggi
Disinfeksi merupakan tindakan/upaya untuk mendestruksi atau membunuh mikroba patogen dalam bentuk vegetatif dan bukan spora bakteri. Metode Disinfeksi dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan kimia atau secara fisik (Tortora et al., 2007; Bauman et al., 2011).  Berdasarkan daya hambat terhadap mikroorganisme, Disinfeksi dibedakan menjadi tiga yaitu Disinfeksi tingkat tinggi, menengah, dan rendah (Spicer, 2008).
Disinfeksi tingkat tinggi adalah suatu proses menghilangkan semua mikroba dan sebagian spora bakteri. Cara ini dapat dilakukan dengan pendidihan selama 20 menit atau dengan penjenuhan dengan jumlah besar disinfektan selama 30 menit misalnya dengan mengunakan glutaraldehid atau H2O2. Sedangkan Disinfeksi tingkat rendah  Akan menghilangkan jumlah mikroba sehingga peralatan atau permukaan badan aman untuk dipegang. Desinfeksi ini dapat dilakukan dengan beberapa macam disinfektan (Signaterdadie, 2009)
Disinfeksi tidak bisa terpisahkan dari disinfektan. Seringkali seseorang mengalami kesalahan dalam menggunakan istilah ini. Desinfektan sangat penting bagi rumah sakit dan klinik. Desinfektan akan membantu mencegah infeksi terhadap pasien yang berasal dari peralatan maupun dari staf medis yang ada di rumah sakit dan juga membantu mencegah tertularnya tenaga medis oleh penyakit pasien. Perlu diperhatikan bahwa desinfektan harus digunakan secara tepat (Imbang, 2009).
a.     Desinfektan tingkat rendah dapat dibagi menjadi 2 golongan : 

1.     Golongan pertama
·        Desinfektan yang tidak membunuh virus HIV dan Hepatitis B.
a.   Klorhexidine (Hibitane, Savlon).
b.   Cetrimide (Cetavlon, Savlon).
c.    Fenol-fenol (Dettol).

Desinfektan golongan ini tidak aman untuk digunakan :
1.     Membersihkan cairan tubuh (darah, feses, urin dan dahak).
2.     Membersihkan peralatan yang terkena cairan tubuh misalnya sarung tangan yang terkena darah.
·        Klorheksidine dan cetrimide dapat digunakan sebagai desinfekan kulit
·        fenol-fenol dapat digunakan untuk membersihkan lantai dan perabot seperti meja dan almari namun penggunaan air dan sabun sudah dianggap memadai.

2.     Golongan kedua
·        Desinfektan yang membunuh Virus HIV dan Hepatistis B.
1)   Desinfektan yang melepaskan klorin.
Contoh : Natrium hipoklorit (pemutih, eau de javel), Kloramin (Natrium tosilkloramid, Kloramin T) Natrium Dikloro isosianurat (NaDDC), Kalsium hipoklorit (soda terklorinasi, bubuk pemutih)
2)   Desinfektan yang melepaskan Iodine misalnya : Povidone Iodine (Betadine, Iodine lemah)
3)   Alkohol : Isopropil alkohol, spiritus termetilasi, etanol.
4)   Aldehid : formaldehid (formalin), glutaraldehid (cidex).
5)   Golongan lain misalnya : Virkon dan H2O2. (Imbang, 2009)

      C.     Pembersihan instrumen
Pembersihan instrumen bertujuan untuk menjaga instrumen baik keawetanya maupun kebersihan alat, sehingga bisa segera di sterilkan. Secara umum pembersihan instrumen dilakukan dengan pencucian.
Pencucian adalah cara paling efektif untuk menghilangkan sebagian besar mikroorganisme pada peralatan perlengkapan yang kotor atau yang sudah digunakan. Baik Sterilisasi maupun Disinfeksi tingkat tinggi menjadi kurang efektif tanpa proses pencucian sebelumnya. Jika benda-benda yang terkontaminasi tidak dapat dicuci segera setelah didekontaminasi, bilas peralatan dengan air untuk mencegah dan menghilangkan bahan-bahan organik, lalu cuci dengan seksama secepat mungkin. (Uliyah dan hidayah, 2008). Sebelum dilakukan pemcucian harus dilakukan dekontaminasi terlebih dahulu untuk menjaga keamanan petugas.
Dekontaminasi adalah langkah pertama dalam menangani peralatan, perlengkapan, sarung tangan, dan benda–benda lainnya yang terkontaminasi. Dekontaminasi membuat benda–benda lebih aman untuk ditangani petugas pada saat dilakukan pembersihan. Untuk perlindungan lebih jauh, pakai sarung tangan karet yang tebal atau sarung tangan rumah tangga dari latex, jika menangani peralatan yang sudah digunakan atau kotor (niken, 2009).
Tujuan Dekontaminasi (Uliyah, 2008)
1.     Untuk menurunkan transmisi penyakit dan pencegahan infeksi pada alat-alat  instrumen persalinan yang telah dilakukan pencucian
2.     Memusnahkan semua bentuk kehidupan mikroorganisme patogen termasuk spora, yang mungkin telah ada pada peralatan kedokteran dan perawatan yang dipakai.
3.     Untuk mencegah penyebaran infeksi melalui peralatan pasien atau permukaan lingkungan.
4.     Untuk membuang kotoran yang tampak.
5.     Untuk membuang kotoran yang tidak terlihat (Mikroorganisme).
6.     Untuk menyiapkan semua permukaan untuk kontak langsung dengan alat pensteril atau desinfektan.
7.     Untuk melindungi personal dan pasien.
Cara-cara Dekontaminasi
1.     lakukan dekontaminasi terhadap alat-alat dengan cara merendamnya dengan larutan desifektan (klorin 0,5 %) selama 10 menit. Atau cairan enzimatik langkah ini dapat membunuh virus hepatitis B dan AIDS.
2.     Jangan merendam instrument logam yang berlapis elektron (artinya tidak 100 % baja tahan gores) meski dalam air biasa selama beberapa jam karena akan berkarat.
3.     Setelah dekontaminasi instrumen harus segera dicuci dengan air dingin untuk menghilangkan bahan organik sebelum dibersihkan secara menyeluruh.
4.     Sekali instrumen atau benda lainnya telah didekontaminasi maka selanjutnya di proses dengan aman.

Adapun langkah langkah pembersihan instrumen selanjutnya adalah:
1.     Petugas menggunakan sarung tangan karet/plastik yang tebal
2.     Gosok setiap permukaan instrumen dengan menggunakan sikat halus yang telah di bubuhi detergent atau cairan enzymatic.
3.     Bilas dibawah keran air yang mengalir
4.     Keringkan dengan lap atau handuk kering
5.     Olesi instrumen dengan minyak pelumas atau parafin
6.     Lakukan pengecekan instrumen
a.       Jumlah
b.      Kelurusan tiap-tiap rahang/gigi
c.       Keakuratan kunci-kunci
d.      Ketajaman
7.     Khusus alat-alat yang tajam dan halus, lindungi dengan kain kassa
8.     Bungkus instrumen dan beri label sesuai set-nya

      D.    sistem Pengemasan
Pengemasan yang dimaksud di sini termasuk material yang tersedia untuk fasilitas kesehatan yang didisain untuk membungkus, mengemas dan menampung alat-alat yang pakai ulang untuk Sterilisasi, penyimpanan dan pemakaian. Tujuan pengemasan adalah untuk berperan terhadap keamanan dan efektivitas perawatan pasien yang merupakan tanggung jawab utama CSSD. Setelah alat/instrument dikemas diberi label/tanda (nama ruangan, tanggal steril, alat yang disterilkan).
Prinsip-prinsip Pengemasan        
Ada tiga prinsip dasar pengemasan:
1.       Sterilan harus dapat menyerap dengan baik ke seluruh permukaan kemasan dan isinya
2.       Harus dapat menjaga sterilitas isinya hingga kemasan dibuka
3.       Harus mudah dibuka dan isinya mudah diambil tanpa menyebabkan kontaminasi
Persyaratan Bahan Pengemas:
1.      Sesuai dengan Metode Sterilisasi yang dipakai
1.       Bahan yang dipakai untuk pengemasan Sterilisasi harus sesuai dengan proses Sterilisasi yang dipilih
2.       Harus tahan terhadap kondisi fisik, seperti suhu tinggi, kelembaban, tekanan dan/atau hisapan pada proses Sterilisasi.
3.       Udara pada kemasan dan isinya harus bisa keluar
4.       Sterilan pada proses uap, EO, atau panas-kering harus dapat menyerap dengan baik pada seluruh permukaan dan serat semua isi dan kemasan.
5.       Sterilan harus dapat dilepaskan pada akhir siklus Sterilisasi
Sterilisasi Uap.
Bahan kemasan harus memudahkan proses pelepasan udara dan penyerapan uap yang baik pada kemasan dan isinya. Pada beberapa Sterilisasi uap, terjadi juga proses penghisapan. Karenanya, bahan kemasan harus memudahkan pelepasan udara secara total tanpa mengganggu bentuk kemasan dan segelnya, Bahan kemasan juga harus mudah kering dan memudahkan pengeringan isinya.
Sterilisasi EO.
Bahan kemasan harus memudahkan penyerapan gas dan uap sterilan yang baik, dan juga siap melepaskan gas dan uap tersebut dari kemasan dan isinya selama waktu aerasi
Sterilisasi Panas-Kering.
Bahan kemasan dan isinya harus tahan terhadap suhu selama waktu yang diperlukan untuk siklus panas-kering tanpa meleleh, terbakar, atau rusak.
Dapat Menahan  Mikroorganisma dan Bakteri
Bahan yang dipakai untuk mengemas  harus dapat menjaga sterilitas dan melindungi isinya yang sudah steril, dari sumber-sumber kontaminasi mikroba mulai dari saat kemasan dikeluarkan dari mesin Sterilisasi, sampai kemasan dibuka untuk dipakai. Karenanya, bahan yang dipakai sebaiknya tidak berbulu, juga dapat menahan masuknya debu dan terserapnya uap (air atau cairan lainnya).
Kuat dan Tahan Lama
Bahan kemasan harus cukup kuat untuk menampung isinya selama proses Sterilisasi dan penanganannya. Harus tahan sobekan dan tusukan, tidak boleh terpengaruh tingkat atmosfir dan kelembaban udara. Selama penyimpanan sebelum dan sesudah Sterilisasi, bahan kemasan tidak boleh berkerut, berlubang jika dilipat, kusut, atau melekat satu sama lain jika ditumpuk, dan segel tidak tidak boleh terlepas.
Mudah digunakan
Bahan harus mudah digunakan untuk membungkus, dan harus sesuai dengan ukuran dan bentuk alat yang akan dikemas, dan harus membungkus alat rapat-rapat.
Tidak mengandung Racun.
Bahan kemasan tidak boleh mengandung bahan beracun dan warna yang bisa menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan terhadap pekerja, atau yang luntur jika terkena sterilan. Sebaliknya, bahan-bahan pakai ulang yang sudah dilaundry atau kotak kontainer pakai ulang harus bebas dari detergen bahan pemutih, atau bahan kimia lainnya yang dapat bereaksi dengan uap sehingga menyebabkan perubahan warna pada instrumen atau menimbulkan perubahan kimia pada alat di dalam kemasan.
Segel yang baik
Segel sangat penting untuk melindungi isi kemasan dan menjaga sterilitas. Pembungkus datar dapat disegel dengan indikator tape atau diikat dengan tali kain. Kantong terbuat dari plastik, kombinasi plastik dan kertas, atau kertas saja harus disegel dengan segel panas atau tape. Kantong bersegel harus disegel sesuai instruksi produsen. Kotak kontainer Sterilisasi biasanya disegel dengan pengunci tahan hancur. Saat membuka kemasan, semua metode segel harus rusak dan tidak dapat dipakai lagi untuk menghindari kesalahan.
Membuka dengan Mudah dan Aman
Bahan kemasan harus mudah dibuka dengan risiko kontaminasi yang minimum, misalnya karena alat terjatuh, dan memungkin perpindahan alat secara aseptik ke area yang steril. Kadang kala pembungkus datar dipakai sebagai duk. Jika demikian, bahan yang dipakai harus mempunyai ukuran yang cukup besar untuk menutupi area operasi (drape), harus fleksibel dan menggantung dengan baik dan tidak boleh menggulung sehingga menyebabkan kontaminasi pada isinya.
Masa Kadaluarsa
Kemasan steril harus dapat menjaga sterilitas isinya selama masa kadaluarsanya. Karena pada prinsipnya, masa kadaluarsa tidak bergantung pada waktu melainkan pada kejadian yang dialami oleh kemasan tersebut.
Tipe-tipe Bahan Kemasan Kertas
Bahan ini hanya untuk sekali pakai. Kebutuhan akan pemakaian kertas disebabkan karena duk kain dan handuk tidak tentu kapan kembalinya dari laundry kemungkinan terjadinya berbulu pada kain. Juga ada keraguan pada kemampuan kain menahan bakteri, sehingga dicari alternatif bahan pembungkus lainnya.
Kriteria kertas yang dapat dipakai:
1.     Harus tidak tembus air
2.     Harus memiliki kekuatan tensile yang tinggi (sangat sukar dirobek)
3.     Harus merupakan penahan bakteri yang baik
4.     Harus bebas dari bahan beracun.


Kertas dapat dipakai sebagai bahan kemasan untuk proses Sterilisasi uap dan EO. Tipe kertas yang boleh dipakai untuk kemasan Sterilisasi:
1.     Kertas kraft yang medical grade
2.     Kertas berlaminasi: terdiri dari tiga lapisan, lapisan kedua mencegah penyerapan uap terapi berpori untuk udara, sehingga harus dilipat sedemikian rupa agar proses Sterilisasi berlangsung dengan baik.
3.     Kertas mentega yang non-glaze (7,2 kg/rim) bisa dipakai untuk Sterilisasi uap tetapi mudah robek.
4.     Kertas krep : menggantung dengan baik dan tidak mudah robek. Bisa dipakai untuk membungkus sekaligus sebagai area steril (duk).
Tape indikator kimia harus dilekatkan pada setiap kemasan. Tape ini berubah warna untuk identifikasi kemasan yang sudah melalui proses Sterilisasi.
Film Plastik
Film plastik tidak dapat menyerap air baik berupa cairan atau uap, karenanya film plastik tidak dapat dipakai sebagai kemasan untuk Sterilisasi uap. Kantong biasanya didisain dengan kertas di salah satu sisinya untuk penetrasi uap. Polyethylene (PE) dapat menyerap EO dan dapat dipakai sebagai tas plastik dengan disain khusus, tetapi biasanya kantong plastik untuk EO juga dikombinasikan dengan kertas. Polyvinyl Chloride (PVC) tidak boleh dipakai karena tidak dapat menyerap EO dengan baik  dan menyimpan gas untuk waktu yang cukup lama. Nylon atau polyamide juga tidak direkomendasikan untuk uap dan EO. Ketebalan film plastik biasanya 1-3 milimikron untuk porositas terhadap EO. Film plastik sering dipakai setelah proses Sterilisasi untuk menjaga kelembaban dan pelindung terhadap debu.
Kain (linen)
Linen adalah bahan tradisional untuk membungkus nampan-nampan operasi. Kelebihannya adalah bisa dipakai ulang, murah, kuat, pelindung yang cukup yang baik, mudah digunakan, dan sangat baik untuk duk. Kelemahannya:
1.       Bukan penghalang bakteri yang baik dan mudah menyerap air.
2.       Suhu panas menyebabkan mudah robek. Sebaiknya memakai kain yang baru di laundry
3.       Perlu diperiksa jika ada lubang, sobekan, dan kerusakan lainnya
4.       Pembungkus kain harus bahan muslin berkualitas tinggi dengan spesifikasi 140 thread count, dan harus dipakai 2 lembar.
5.       Muslin yang tidak di bleach lebih baik karena 10 % lebih kuat dari muslin yang di bleach.
6.       Kain yang tebal seperti kanvas tidak boleh dipakai karena sulit menyerap uap.
7.       Kain dapat dipakai untuk Sterilisasi  uap dan EO
Kain campuran
Campuran katun dan plastik memperbaiki kemampuan menghalangi bakteri dan air. Tetapi karena sering dicuci, menjadi kurang baik. Bahan ini sesuai untuk Sterilisasi uap dan EO.
Prosedur dan Langkah-langkah pengemasan
Prosedur pengemasan harus mencakup:
1.       Nama alat-alat yang akan dikemas
2.       Langkah-langkah yang tepat untuk persiapan dan inspeksi alat-alat, sesuai instruksi produsen dan spesifikasinya.
3.       Sesuaikan dengan metode Sterilisasi yang dipakai
4.       Tipe dan ukuran alat-alat yang akan dikemas
5.       Penempatan alat-alat yang tepat dalam kemasan
6.       Tipe dan penempatan yang tepat indikator kimia external dan internal, sesuai dengan kebijakan pengendalian mutu proses Sterilisasi
7.       Metoda atau teknik mengemas. (Lihat Lampiran 5)
8.       Metoda pemberian segel pada setiap kemasan
9.       Metoda dan penempatan label untuk identifikasi isi kemasan
10.   Aplikasi informasi untuk pengendalian mutu, seperti nomor lot, tanggal, dan identifikasi pekerja yang menyiapkan
11.   Petunjuk untuk penempatan kemasan di dalam mesin Sterilisasi
12.   Peringatan mengenai waktu pengeringan, waktu pendinginan, dan penanganan setelah proses Sterilisasi.
13.   Informasi mengenai aplikasi pelindung setelah proses Sterilisasi terhadap debu, uap,vermin, dsb.
14.   Petunjuk untuk penempatan pada penyimpanan, atau untuk distribusi ketempat pemakaian.
15.   Informasi untuk pemakai untuk mencegah kemungkinan kontaminasi, misalnya prosedur yang tepat untuk penyimpanan dan penanganan kemasan steril; inspeksi segel, dan metode yang tepat untuk membuka alat-alat steril.


      E.     Sterilisasi
Sterilisasi adalah proses membunuh segala bentuk kehidupan mikroorganisme yang ada dalam suatu sampel, alat, atau lingkungan tertentu (Rahardjo, 2010). Sterilisasi dapat membunuh semua bentuk mikroorganisme meliputi virus, jamur, parasit, kista, bakteri, dan bagian bakteri seperti spora (Spicer, 2008). Sterilisasi berbeda dengan Disinfeksi. Disinfeksi merupakan tindakan/upaya untuk mendestruksi atau membunuh mikroba patogen dalam bentuk vegetatif dan bukan spora bakteri. Metode Disinfeksi dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan kimia atau secara fisik (Tortora et al., 2007; Bauman et al., 2011). Berdasarkan daya hambat terhadap mikroorganisme, Disinfeksi dibedakan menjadi tiga yaitu Disinfeksi tingkat tinggi, menengah, dan rendah (Spicer, 2008).
Sterilisasi dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu secara fisika, mekanik, dan kimia. Sterilisasi secara fisika dilakukan dengan pemanasan dan radiasi, Sterilisasi mekanik dilakukan dengan filtrasi, sedangkan Sterilisasi kimia dilakukan dengan cairan disinfektan (Goering et al., 2008; Spicer, 2008; Levinson, 2010).
1)   Sterilisasi Fisika
a)    Pemanasan
Sterilisasi panas bekerja dengan prinsip mendenaturasi protein sel dan asam nukleat serta merusak membran sel. Sterilisasi panas dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu panas basah (merebus dan autoklaf), panas kering, dan pasteurisasi (Madigan dan Martinko, 2006; Bauman et al., 2011). Sterilisasi panas merupakan Sterilisasi yang dianggap paling efektif, tetapi kelemahannya tidak bisa diaplikasikan pada zat aktif yang tidak tahan panas/rusak karna panas.
Sterilisasi panas basah dengan merebus pada suhu 100°C selama 2-3 menit dapat membunuh semua bakteri kecuali bentuk spora. Agar dapat membunuh spora, diperlukan suhu yang lebih tinggi. Untuk itu digunakan teknik Sterilisasi panas basah bertekanan dengan autoklaf. Penguapan dengan autoklaf dapat lebih cepat membunuh bakteri karena uap dapat menyebarkan panas ke semua bagian tabung Sterilisasi. Uap dipertahankan selama 15 menit pada tekanan 15 lb/sq di atas tekanan atmosfer untuk mencapai suhu 121°C sehingga dapat membunuh spora (Tortora et al., 2007; Bauman et al., 2011).
Sterilisasi panas kering dilakukan untuk bahan yang harus tetap kering dengan oven listrik untuk mengedarkan panas. Karena panas kurang efektif untuk bahan kering, dibutuhkan suhu 160-170°C dengan waktu 1 jam atau lebih untuk proses Sterilisasi  (Brooks et al., 2008; Goering et al., 2008). Umumnya Sterilisasi panas dilakukan pada jenis minyak, serbuk yang tidak stabil terhadap uap air, dan alat-alat gelas ukur yang tidak digunakan untuk pengukuran (Bukan alat ukur).
b)    Pasteurisasi
Pasteurisasi digunakan untuk Sterilisasi larutan seperti susu pada suhu 62,8-65,6°C selama 30 menit atau pada suhu 71,7°C selama 15 detik dengan segera diikuti pendinginan pada suhu di bawah 10°C. Tindakan ini ditujukan untuk menekan pertumbuhan bakteri. Sterilisasi larutan digunakan untuk membunuh sel vegetatif dalam susu tetapi tidak untuk mencapai keadaan steril (Madigan dan Martinko, 2006; Levinson, 2010).
c)     Radiasi
Radiasi dapat menggunakan sinar ultraviolet (UV) dan sinar-X.
Sterilisasi radiasi dibagi menjadi dua :
a.      Radiasi elektromagnetik (EM) adalah Sterilisasi menggunakan sinar ultraviolet (UV). sinar UV ini memotong DNA mikroorganisme sehingga ekspresi DNA tidak terjadi. keterbatasannya Sterilisasi cara ini hanya bisa bekerja pada permukaan, tidak bisa menembus bahan padat. Aktivitas antimikroba untuk membunuh mikroorganisme yang ditransmisikan melalui udara membutuhkan sinar-UV dengan panjang gelombang 250 sampai 260 nm.
b.     Radiasi pengion adalah metode Sterilisasi yang menggunakan sinar gamma untuk merusak DNA mikroorganisme, kelebihannya bisa menembus zat padat. Sinar-X memiliki kekuatan penetrasi lebih kuat dibandingankan sinar-UV dan dapat menyebabkan perubahan DNA sehingga terjadi mutasi dan kematian sel (Bauman et al., 2011).

2)   Sterilisasi Mekanik
Sterilisasi secara mekanik dilakukan dengan cara filtrasi. Filtrasi digunakan untuk mengeluarkan cairan atau gas melalui suatu bahan penyaring yang memiliki pori-pori kecil untuk menahan mikroorganisme dengan ukuran tertentu. Saringan akan tercemar, sedangkan cairan atau gas yang melaluinya akan steril (Goering et al., 2008). Filtrasi biasanya menggunakan nitroselulosa dengan ukuran pori-pori 0,22 µm. Ukuran ini hanya akan menjaring semua bakteri dan spora sehingga cairan atau gas yang disaring masih mengandung mikoplasma dan virus (Tortora et al., 2007; Spicer, 2008).

3)   Sterilisasi Kimia
Sterilisasi kimia dengan disinfektan bekerja dengan tiga macam mekanisme yaitu merusak membran atau dinding sel, memodifikasi protein, atau memodifikasi asam nukleat (Brooks et al., 2004; Levinson, 2010).
a)   Merusak membran atau dinding sel
Membran sel bekerja sebagai sawar yang selektif yaitu memungkinkan beberapa zat terlarut untuk melewatinya dan menahan zat lainnya. Senyawa yang ditranspor secara aktif melalui membran akan terkonsentrasi dalam sel. Membran juga merupakan tempat enzim yang terlibat dalam biosintesis komponen selubung sel. Zat yang terkumpul di permukaan sel dapat mengubah sifat fisika dan kimia membran. Hal ini menyebabkan membran tidak dapat berfungsi dengan normal sehingga akan membunuh atau menghambat sel (Bauman et al., 2011).
Dinding sel bekerja sebagai struktur pemberi bentuk sel dan melindungi sel terhadap lisis osmosis. Oleh karena itu, berbagai agen yang menghancurkan dinding atau mencegah sintesis normalnya dapat menimbulkan lisis sel (Brooks et al., 2008).
Beberapa disinfektan yang bekerja dengan prinsip merusak membran dan dinding sel antara lain:
1)    Alkohol
Etanol digunakan untuk membersihkan kulit sebelum imunisasi dan pungsi vena. Etanol akan lebih optimal apabila dicampur air dan paling baik dalam konsentrasi 70% (Goering et al., 2008, Levinson, 2010).
2)    Deterjen
Deterjen merupakan senyawa organik yang dapat berikatan dengan air dan molekul organik non-polar. Molekul deterjen memiliki satu ujung hidrofilik yang dapat bercampur dengan air dan satu ujung hidrofobik yang dapat menempel pada lemak di membran sel organisme. Ikatan tersebut akan menyebabkan membran sel menjadi rusak (Levinson, 2010).
3)    Fenol
Fenol merupakan disinfektan tingkat menengah dan rendah yang dapat mendenaturasi protein dan merusak membran sel (Bauman et al., 2011).
b)   Memodifikasi protein
Protein memiliki bentuk tiga dimensi dan berlipat-lipat yang ditentukan ikatan disulfida kovalen intramolekul dan sejumlah ikatan nonkovalen seperti ikatan ion, hidrofobik, dan hidrogen. Ikatan tersebut mudah terganggu oleh sejumlah agen kimia dan fisik yang menyebabkan terjadi perubahan bentuk protein dan protein menjadi tidak berfungsi. Adanya perubahan bentuk dan hilangnya fungsi protein disebut sebagai denaturasi (Brooks et al., 2008).
Beberapa disinfektan yang bekerja dengan prinsip memodifikasi protein antara lain:
1)   Klorin
Klorin dikenal sebagai deodoran dan disinfektan yang sangat baik untuk pemurnian air minum dan kolam renang. Senyawa hipoklorit paling banyak dipakai untuk tujuan Disinfeksi dan menghilangkan bau di rumah dan rumah sakit. Di rumah sakit klorin dipakai untuk Disinfeksi ruangan, permukaan, serta alat non-bedah. Klorin berikatan dengan gugus sulfhidril pada protein sehingga menyebabkan denaturasi protein (Levinson, 2010).
2)   Iodin
Iodin dalam air maupun dalam alkohol merupakan antiseptik kulit paling efektif digunakan dalam tindakan kesehatan termasuk sebelum proses pembedahan. Iodin merupakan oksidan yang menginaktivasi sulfhidril pada enzim (Tortora et al., 2007).
3)   Derivat logam berat
Logam berat berperan sebagai antimikroba karena dapat mempresipitasi enzim atau protein esensial lain dalam sel dengan cara berikatan dengan gugus sulfhidril. Logam berat yang umum digunakan adalah Hg, Ag, As, Zn, dan Cu. Logam berat yang paling sering digunakan dalam bidang kesehatan dan memiliki aktivitas antibakteri paling besar adalah merkuri dan silver (Tortora et al., 2007).
4)   Hidrogen peroksida
Hidrogen peroksida akan terurai menjadi air dan oksigen apabila dipanaskan. Selama pembentukan oksigen, dibentuk pula radikal superoksida yang akan bereaksi dengan kompleks bermuatan negatif di dalam protein yang selanjutnya akan menginaktivasi enzim. Hidrogen peroksida mempunyai aktivitas spektrum luas melawan virus, bakteri, ragi, dan spora bakteri. Aktivitas sporisidal memerlukan konsentrasi H lebih tinggi (10-30%) dan waktu kontak yang lebih lama (Brooks et al., 2008). 
5)   Formaldehid dan glutaraldehid
Glutaraldehid digunakan untuk Disinfeksi Endoskopi dan peralatan bedah pada suhu rendah. Biasanya digunakan larutan 2O2 yanglutaraldehid 2% untuk mencapai aktivitas sporisidal. Formaldehid bersifat bakterisidal, sporisidal, dan virusidal (Brooks et al., 2008; Goering et al., 2008).
6)   Etilen oksida
Gas etilen oksida digunakan untuk Sterilisasi alat kedokteran yang peka terhadap panas seperti plastik, karet, dan alat-alat bedah (Goering et al., 2008, Spicer, 2008). Sterilisasi menggunakan gas etilen oksida, kelemahannya zat ini mudah terbakar, bersifat mutagenik dan toksik, sehingga dikhawatirkan terdapat residu setelah Sterilisasi. Pilihan Sterilisasi cara gas biasanya pilihan akhir bila zat tidak tahan panas ataupun uap air.
7)   Asam dan basa
Asam dan basa kuat bekerja dengan cara mendenaturasi protein. Asam lemah seperti asam benzoat, asam propionat, dan asam sitrat digunakan pada makanan karena bersifat bakteriostatik (Levinson, 2010).
c)    Memodifikasi asam nukleat
Sejumlah agen antimikroba bekerja dengan cara merusak DNA. Berbagai agen pengalkil dan senyawa lain bereaksi secara kovalen dengan basa pirin dan pirimidin sehingga bergabung dengan DNA atau membentuk ikatan silang antaruntai. Lesi DNA yang diinduksi secara kimia akan membunuh sel terutama dengan cara menganggu replikasi DNA (Brooks et al., 2008). Salah satu disinfektan yang bekerja dengan cara memodifikasi DNA adalah kristal violet (gentian violet) yang digunakan untuk antiseptik kulit (Bauman et al., 2011).

§  Penyimpanan dan Distribusi
Alat/bahan yang sudah disterilkan oleh petugas kemudian disimpan di lemari penyimpanan alat steril dan di distribusikan ke unit-unit yang membutuhkan alat/bahan dalam kondisi yang steril. Dan melalui cara yang steril juga. Ini untuk tetap menjaga kualitas Sterilisasi alat.
§  Pencatatan dan Pelaporan
Alat/bahan yang disterilkan di catat jumlah set nya, berat alat, tanggal dan petugas/perawat yang mensterilkan di dalam buku pencatatan dan pelaporan Sterilisasi.
§  Pembuangan Limbah
      Limbah atau buangan hasil proses Sterilisasi dibuang ke IPAL Rumah Sakit atau pelayanan kesehatan terkait.


Bab iii
penutup


Salah satu nilai penting dari Sterilisasi alat adalah untuk menhindari infeksi nosokomial. Peran perawat dalam hal ini sangatlah besar. Sterilisasi alat merupakan salah satu bagian strategi rumah sakit dalam pengendalian infeksi nosokomial. Dengan pemahaman akan Sterilisasi dan Disinfeksi yang benar maka keamanan pasien maupun petugas kesehatan akan terjamin.
Berbagai langkah dan prosedur harus dipahami dengan benar agar dapat melakukan tindakan Sterilisasi yang benar. Tak kalah pentingnya adalah dengan tetap mengikuti update keilmuan yang terus berkembang. Dan memang Sudah sepantasnya kita terus belajar meningkatkan keilmuan.



Daftar pustaka

Salawati, Liza. 2012. PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT. JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 12 Nomor 1 April 2012. Hal 47-52.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Instalasi Pusat Sterilisasi Di Rumah Sakit. Jakarta.



EmoticonEmoticon