BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang
bekerja melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi
dan membunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan
aktivitas dapat berlangsung dengan baik. Selain dapat menghindarkan tubuh
diserang patogen, imunitas juga dapat menyebabkan penyakit, diantaranya Hipersensitivitas dan autoimun. Hipersensitivitas adalah respon
imun yang merusak jaringan tubuh sendiri. Reaksi Hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe berdasarkan
mekanisme dan lama waktu reaksi hipersensitif, yaitu reaksi Hipersensitivitas tipe I, tipe
II, tipe III, dan tipe IV.
Autoimunitas
adalah kegagalan dari suatu organisme untuk mengenali bagian-bagian penyusunnya
sendiri sebagai diri, yang memungkinkan respon imun terhadap sel sendiri dan
jaringan tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon imun yang
menyimpang diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun. Contoh penyakit auto imun yang paling
sering adalah diabetes melitus tipe 1 (IDDM),
lupus eritematosus sistemik (SLE),
sindrom Sjogren, Churg-Strauss Syndrome,
tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, idiopatik
thrombocytopenic purpura, rheumatoid arthritis (RA) dan alergi.
Menurut
survey rumah tangga dari beberapa negara menunjukkan penyakit
alergi adalah adalah satu dari tiga penyebab yang paling sering kenapa pasien
berobat ke dokter keluarga. Penyakit pernapasan dijumpai sekitar 25% dari semua
kunjungan ke dokter umum dan sekitar 80% diantaranya menunjukkan gangguan
berulang yang menjurus pada kelainan alergi.
Angka
kejadian alergi di berbagai dunia dilaporkan meningkat drastis dalam beberapa
tahun terakhir. World Health Organization (WHO) memperkirakan di dunia
diperkirakan terdapat 50 juta manusia menderita asma. Tragisnya lebih dari
180.000 orang meninggal setiap tahunnya karena astma. BBC tahun 1999
melaporkan penderita alergi di Eropa ada kecenderungan meningkat
pesat. Angka kejadian alergi meningkat tajam dalam 20 tahun terakhir. Setiap
saat 30% orang berkembang menjadi alergi. Anak usia sekolah lebih 40%
mempunyai 1 gejala alergi, 20% mempunyai astma, 6 juta orang mempunyai
dermatitis (alergi kulit). Penderita Hay Fever lebih dari 9 juta orang (Judarwanto, 2009).
Sistem
imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu mengenal setiap
antigen asing dan membedakannya dengan struktur antigen diri (self antigen),
tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap kemampuan pengenalan tersebut
sehingga terjadi respons imun terhadap antigen diri yang dianggap asing. Inilah yang menjadi pencetus reaksi autoimun.
1.2
TUJUAN
1.
Memahami definisi
dari Hipersensitivitas.
2.
Mengetahaui
pembagian Hipersensitivitas.
3.
Memahami perbedaan
tipe Hipersensitivitas.
4. Memahami asuhan
keperawatan pada Hipersensitivitas.
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
2.1
DEFINISI
Alergi
atau Hipersensitivitas adalah
kegagalan kekebalan tubuh dimana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam
bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya nonimunogenik.
Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau
bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang
menyebabkan Hipersensitivitas
tersebut disebut allergen. Reaksi
hipersentsitivitas dikelompokkan menjadi 4 oleh Gell dan Coombs (dalam
Brunner & Suddarth, 2002), yakni sebagai berikut :
a.
Tipe I : Reaksi Anafilaksi
Di
sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini
IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat
terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat. Hipersensitifitas tipe I disebut juga
sebagai Hipersensitivitas
langsung atau anafilaktik. Reaksi
ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan
saluran gastrointestinal. Reaksi
ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil
hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30
menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami
keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe
I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini
adalah mastosit atau basofil.
Reaksi
ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil,
dan eosinofil. Uji diagnostic yang dapat digunakan untuk mendeteksi Hipersensitivitas tipe I
adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi
IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang
dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi
akibat Hipersensitivitas pada
bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun,
peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti
infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi Hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan
anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization)
untuk beberapa alergi tertentu.
Gambar 1
Reaksi Hipersensitivitas tipe 1
b.
Tipe II : reaksi sitotoksik
Hipersensitivitas tipe
II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan
yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang
langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan
menimbulkan kerusakan pada target sel. Hipersensitivitas dapat
melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi
sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari Hipersensitivitas tipe II
adalah:
·
Pemfigus (IgG
bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal).
·
Anemia hemolitik autoimun (dipicu
obat-obatan seperti penisilin yang
dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan
berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan
permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah).
·
Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi
dengan membran permukaan glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
Gambar 2
Reaksi Hipersensitivitas tipe 2
c.
Tipe III : reaksi imun kompleks
Di
sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophic hemotactic factor yang
dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh
darah kecil. Manifestasinya di kornea dapat berupa
keratitis herpes simpleks, keratitis karena bakteri (stafilokokus, pseudomonas), dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi
pada keratitis Herpes simpleks.
Gambar 3
Reaksi Hipersensitivitas tipe 3
d.
Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Sedangkan pada tipe IV yang berperan
adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized
T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator
(limfokin) yang jumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keratonjungtivitis
flikten, keratitis Herpes simpleks, dan
keratitis diskiformis.
Gambar 4
Reaksi Hipersensitivitas tipe 4
2.2
ETIOLOGI
Faktor
yang berperan dalam alergi dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Faktor
Internal
1.
Imaturitas usus secara fungsional
(misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx)
maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan
penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi
makanan tertentu.
2.
Genetik berperan dalam alergi makanan.
Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini
dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
3.
Mukosa dinding saluran cerna belum
matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah.
b. Fakor
Eksternal
1.
Faktor pencetus : faktor fisik (dingin,
panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah
raga).
2.
Contoh makanan yang dapat memberikan
reaksi alergi menurut prevalensinya
Ikan
Telur Susu Kacang Gandum |
15,4 %
12,7 %
12,2 %
5,3 %
4,7 %
|
Apel
Kentang Coklat Babi Sapi |
4,7 %
2,6 %
2,1 %
1,5 %
3,1 %
|
3.
Hampir semua jenis makanan dan zat
tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.
2.3
PATOFISIOLOGI
Oleh Coomb dan
Gell (1963), Mekanisme anafilaksis dibagi melalui beberapa fase :
1. Fase Sensitisasi
Yaitu waktu yang
dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada
permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran
nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera
mempresen-tasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan
mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi
menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (Ig E)
spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini kemudian terikat pada receptor
permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
2. Fase Aktivasi
Yaitu waktu selama
terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Mastosit dan Basofil
melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan
ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen
yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi
segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin,
bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan
istilah Preformed mediators.Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam
arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan
Prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut
Newly formed mediators.
3. Fase Efektor
Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan
edema, sekresi mukus dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas
vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating
factor (PAF) berefek bronchospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler,
agregasi dan aktivasi trombosit.
Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi,
demikian juga dengan Leukotrien.Secara ringkas, berbagai senyawa kemotaksis,
vasoaktif, dan bronkospasme memerantai reaksi Hipersensitivitas tipe 1.Beberapa senyawa ini dilepaskan
secara cepat dari sel mast yang tersensitasi dan bertanggung jawab terhadap
reaksi segera yang hebat yang berhubungan dengan kondisi seperti anafilaksis
sistemik. Senyawa lain, seperti sitokin, bertanggung jawab terhadap reaksi fase
lambat, termasuk rekrutmen sel radang. Sel radang yang direkrut secara sekunder
tidak hanya melepaskan mediator tambahan, tetapi juga menyebabkan kerusakan
epitel setempat.
2.4
Manifestasi klinis
Tanda dan gejala utama pada reaksi anafilaktik dapat
digolongkan menjadi reaksi sistemik yang ringan, sedang dan berat.
1. Ringan. Reaksi sistemik
yang ringan terdiri dari rasa kesemutan serta hangat pada bagian perifer dan
dapat disertai dengan perasaan penuh dalam mulut serta tenggorokan. Kongesti
nasal, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin dan mata berair dapat
terjadi. Awitan gejala dimulai dalam waktu 2 jam pertama sesudah kontak.
2. Sedang. Reaksi
sistemik yang sedang dapat mencakup salah satu gejala diatas disamping gejala
flushing, rasa hangat, cemas, dan gatal-gatal. Reaksi yang lebih serius berupa
bronkospasme dan edema saluran pernafasan atau laring dengan dispnea, batuk
serta mengi. Aawitan hgejala sama seperti reaksi yang ringan.
3. Berat. Reaksi sistemik
yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda-tanda serta gejala yang sama
seperti diuraikan di atas dan berjalan dengan cepat hingga terjadi
bronkospasme, edema laring, dispnea berat serta sianosis. Disfagia (kesulitan
menelan), kram abdomen, vomitus, diare, dan serangan kejang-kejang dapat
terjadi. Kadang-kadang timbul henti jantung
2.5
Komplikasi
1. Eritroderma eksfoliativa sekunder
Eritroderma ( dermatitis eksfoliativa ) adalah kelainan
kulit yang ditandai dengan adanya eritema seluruh / hampir seluruh tubuh,
biasanya disertai skuama (Arief Mansjoer , 2000). Etiologi eritroderma eksfoliativa sekunder :
a. Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin
dan derivatnya , sulfonamide , analgetik / antipiretik dan ttetrasiklin.
b. Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh , dapat
terjadi pada liken planus, psoriasis, pitiriasis rubra pilaris, pemflagus
foliaseus, dermatitis seboroik dan dermatitis atopik.
c. Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma.
2.
Abses limfedenopati
Limfadenopati merujuk kepada ketidaknormalan kelenjar
getah bening dalam ukuran, konsistensi ataupun jumlahnya. Limfadenopati dapat
timbul setelah pemakaian obat-obatan seperti fenitoin dan isoniazid.
Obat-obatan lainnya seperti allupurinol, atenolol, captopril, carbamazepine,
cefalosporin, emas, hidralazine, penicilin, pirimetamine, quinidine,
sulfonamida, sulindac). Pembesaran karena obat umumnya seluruh tubuh
(generalisata).
3.
Furunkulosis
Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan
yang disekitarnya, yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Apabila
furunkelnya lebihdari satu maka
disebut furunkolosis.Faktor predisposisi:
a.
Hygiene yang tidak baik
b. Diabetes mellitus
c.
Kegemukan
d. Sindrom hiper IgE
e.
Carier kronik S.aureus (hidung)
f.
Gangguan kemotaktik
g.
Ada penyakit yang mendasari, seperti HIV
h. Sebagai komplikasi dari dermatitis atopi, ekscoriasi,
scabies atau pedikulosis (adanya lesi pada kulit atau kulit utuh bisa juga
karena garukan atau sering bergesekan).
4.
Rinitis
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan
oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatumediator kimia ketika terjadi
paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Brunner & suddarth, 2002).
5.
Stomatitis
Stomatitis Aphtous Reccurent atau yang di kalangan awam
disebut sariawan adalah luka yang terbatas pada jaringan lunak rongga
mulut. Hingga kini, penyebab dari sariawan ini belum dipastikan, tetapi
ada faktor-faktor yang diduga kuat menjadi pemicu atau pencetusnya. Beberapa
diantaranya adalah:
a. Trauma pada jaringan lunak mulut (selain gigi), misal
tergigit, atau ada gigi yang posisinya di luar lengkung rahang yang normal
sehingga menyebabkan jaringan lunak selalu tergesek/tergigit pada saat
makan/mengunyah
b. Kekurangan nutrisi,terutama vitamin B12, asam folat dan
zat besi.
c.
Stress
d. Gangguan hormonal, seperti pada saat wanita akan memasuki
masa menstruasi di mana terjadi perubahan hormonal sehingga lebih rentan
terhadap iritasi
e.
Gangguan autoimun / kekebalan tubuh, pada beberapa kasus
penderita memiliki respon imun yang abnormal terhadap jaringan mukosanya
sendiri.
f.
Penggunaan gigi tiruan yang tidak pas atau ada bagian
dari gigi tiruan yang mengiritasi jaringan lunak
g.
Pada beberapa orang, sariawan dapat disebabkan karena Hipersensitivitas terhadap
rangsangan antigenik tertentu terutama makanan.
6.
Konjungtivitis
Konjungtivitis adalah radang atau infeksi pada
konjungtiva dimana batasnya dari kelopak mata hingga sebagian bola mata. Etiologi:
a. Infeksi oleh virus
b. Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu
binatang
c. Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi lainnya
d. Kelainan saluran air mata, dll.
7.
Kolitis Bronkolitis
8.
Hepatomegali
2.6
Faktor Resiko
1.
Penyakit Atopik
2.
Reaksi makanan
3.
Konsumsi obat chymopapain.
4. Orang dengan pemberian intravena
2.7
Pemeriksaan penunjang
1. RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzym
Linked Immunosorbent Assay test )
Pemeriksaan yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik, namun
memerlukan biaya yang mahal. Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen
hirup dan makanan. Tes ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu
serum darah tersebut diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4 jam. Kelebihan
tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi oleh
obat-obatan.
2.
Skin Prick Test (Tes tusuk kulit)
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan
makanan, misalnya debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang,
kepiting dan lain-lain. Tes ini dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam,
lalu alergen yang diuji ditusukkan pada kulit dengan menggunakan jarum khusus
(panjang mata jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit.
Hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu 30 menit. Bila positif alergi
terhadap alergen tertentu akan timbul bentol merah gatal. Syarat tes ini :
a. Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat
yang mengandung antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung
jenis obatnya.
b. Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.
3.
Skin Test (Tes kulit)
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat
yang disuntikkan. Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat
yang akan di tes. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya reaksi Hipersensitivitas yang segera
pada individu tersebut, atau dengan kata lain pada epikutan individu tersebut
terdapat kompleks IgE mast.
4.
Patch Test (Tes Tempel)
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan
kimia, pada penyakit dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit
punggung. Hasil tes ini baru dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap
bahan kimia tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit. Syarat
tes ini :
a. Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang
berkeringat, mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
b. 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang
mengandung steroid atau anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat
oles, krim atau salep.
c. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila
positif akan timbul bentol, merah, gatal.
5.
Tes Provokasi
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat
yang diminum, makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes
provokasi untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini
digunakan untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan
makanan sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko
tinggi terjadinya serangan asma dan syok.
6.
Uji gores (scratch test)
Merupakan uji yang membawa resiko yang relatif rendah, namun reaksi alergi
sistemik telah dilaporkan. Tes ini dilakukan diperkutan.
7.
Uji intrakutan atau intradermal yang
tunggal atau berseri (skin end-point titration/ SET)
Memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tes kulit cukit. SET (Skin End Point Titration) merupakan
pengembangan larutan tunggal dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab,
dapat juga menentukan derajat alergi serta dosis awal untuk immunoterapi.Uji
cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian
penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal.
8.
Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat,
demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.
Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak
kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.
2.8
Penatalaksanaan non farmakologis
1. Evaluasi segera.
Yang penting dievaluasi adalah keadaan jalan napas dan
jantung. Kalau pasien mengalami henti jantung-paru harus dilakukan resusitasi
kardiopulmoner.
2. Intubasi dan trakeostomi.
Intubasi endotrakeal adalah pemasangan selang
melalui hidung atau mulut ke saluran pernafasan, sedangkan trakeostomi adalah
pembuatan lubang di trakea untuk membantu pernafasan. Intubasi
atau trakeostomi perlu dilakukan kalau terdapat sumbatan jalan napas bagian
atas yang disebabkan oleh edema.
3. Turniket.
Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada
ekstremitas atau sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang turniket
proksimal dari daerah suntikan atau tempat gigitan tersebut. Setiap 10 menit
turniket ini dilonggarkan selama 1-2 menit.
4. Oksigen.
Oksigen harus diberikan kepada penderita penderita yang
mengalami sianosis, dispneu yang jelas atau penderita dengan mengi. Oksigen
dengan aliran sedang-tinggi (5-10 liter/menit) diberikan melalui masker atau
kateter hidung.
5. Terapi
desentisasi.
Berupa
penyuntikan berulang alergen (yang dapat mensentisasi pasien) dalam jumlah yang
sangat kecil dapat mendorong pasien membentuk
antibodi IgG terhadap alergen. Antibodi ini dapat bekerja sebagai antibody
penghambat (blocking antibodies). Sewaktu pasien tersebut kembali terpajan ke
alergen , maka antibodi penghambat dapat berikatan dengan alergen mendahului
antibodi IgE. Karena pengikatan IgG tidak menyebabkan degranulasi sel mast yang
berlebihan, maka gejala alergi dapat dikurangi.
6. Terapi
probiotik (preparat sel mikroba atau komponen mikroba yang dapat mempertahankan
kesehatan melalui kegiatan yang dilakukan dalam flora usus).
Salah
satu pendekatan terbaru yang digunakan dalam penatalaksanaan alergi makanan.
7. Diet.
Dalam
hal ini yaitu dengan membatasi mengkonsumsi makanan yang menyebabkan alergen.
8. Pengobatan suportif.
Sesudah keadaan stabil, penderita harus tetap mendapat
pengobatan suportif dengan obat dan cairan selama diperlukan untuk membantu
memperbaiki fungsi vital. Tergantung dari beratnya reaksi, pengobatan suportif
ini dapat diberikan beberapa jam sampai beberapa hari.
Bila
terjadi komplikasi syok anafilaktik, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki
diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena,
dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
2.
Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru,
yaitu:
Airway (membuka jalan napas). Jalan
napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita
yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke
belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik
mandibula ke depan, dan buka mulut.
Breathing support, segera
memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik
melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang
disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas
total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial,
selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas
dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera
ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotiroidotomi,
atau trakeostomi.
Circulation support,
yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis),
segera lakukan kompresi jantung luar.
2.9
Pencegahan
1.
Menghindari alergen penyebab reaksi alergi
2.
Bagi orang yang sensitif terhadap gigitan dan serangan
serangga, yang pernah mengalami reaksi terhadap makanan atau obat tertentu, dan
yang pernah mengalami reaksi anfilaktik akibat latihan fisik harus selalu membawa
kotak emerjensi yang berisi epinefrin (Epipen)
3.
Anamnesa yang cermat mengenai riwayat setiap sensitivitas
terhadap antigen yang dicurigai sebelum memberikan obat apapun
4.
Untuk mencegah anafilaksis akibat alergi obat, kadang
sebelum obat penyebab alergi diberikan, terlebih dahulu diberikan
kortikosteroid, antihistamin atau epineprin
5.
Melakukan skin test bila perlu juga
penting, namun perlu diperhatikan bahwa tes kulit negatif pada umumnya
penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti
pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit
negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi
sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes
kulit positif.
6.
Bagi pasien yang memiliki predisposisi untuk terjadinya
reaksi anafilaksis harus mengenakan alat identifikasi yang berkaitan dengan
alergi obat, seperti gelang Medic-Alert.
7.
Pasien yang alergi terhadap bisa serangga mungkin
memerlukan imunoterapi yang digunakan sebagai terapi pengendalian dan bukan
penyembuhan
8.
Dilakukan Desensitisasi (usaha mengurangkan atau
menghilangkan alergi thd suatu zat):
9.
serangan serangga
atau beberapa jenis binatang lain sudah dapat dicegah dengan cara desensitisasi
yang berupa penyuntikan berulang-ulang dari dosis rendah sampai dianggap cukup
dalam jangka waktu yang cukup lama
10.Pasien diabetes
yang alergi insulin dan sensitif terhadap penisilin memerlukan desensitisasi
11.Desensitisasi
alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang
12.Encerkan obat bila pemberian dengan SC/ID/IM/IV dan
observasi selama pemberian
2.10
Pendidikan kesehatan
1. Instruksikan kepada klien agar menghindari makanan yang
dapat menimbulkan alergi seperti kacang tanah, kacang kedelai, susu sapi,
telur, makanan laut apabila alergen terhadap makanan.
2. Instruksikan kepada klien agar menghindari alergen
yang masuk akibat kontak langsung dengan permukaan kulit dinamakan alergen
kontaktan, misalnya serangga, ulat bulu, obat -obatan , kosmetik, minyak,
apabila alergen terhadap binatang
3. Menjaga kelembaban ruangan dengan mengatur sirkulasi
angin dan udara.
4. Menjaga kebersihan pakaian dan mengganti sprei sedikitnya
seminggu sekali
5. Beritahukan kepada klien untuk mengkompres air dingin
ketika terasa gatal
6. Menghindari penggunaan antibiotik (Penicillin) karena
dapat memicu sefalosporin lebih cepat dari antibiotik lainnya
7. Sarankan klien untuk melakukan tes alergi
BAB III
ASKEP HIPERSENSITIVITAS
3.1
Pengkajian
1.
Identitas klien
Meliputi
nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, no
register dan diagnose medis.
2.
Keluhan utama
Pasien mengeluh sakit, kemerahan pada
kulit dan terasa gatal.
3.
Riwayat penyakit sekarang
Pasien
mengeluh sesak nafas, demam, bibirnya bengkak, tibul kemerahan pada kulit, mual muntah dan
terasa gatal.
4.
Riwayat penyakit dahulu
Mengkaji
apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sesak nafas, demam, bibirnya bengkak, tibul kemerahan pada kulit, mual muntah, dan terasa gatal dan pernah menjalani
perawatan di RS atau pengobatan tertentu, riwayat alergi
sebenarnya.
5.
Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji
apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang sama, atau memiliki riwayat alergi.
6.
Riwayat psikososial
Mengkaji
orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit pasien
terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap
stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya.
a. Kulit, seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik,
bekas garukan terutama daerah pipi dan lipatan kulit daerah fleksor.
b.
Mata, diperiksa terhadap hiperemia, edema, sekret mata yang berlebihan
dan katarak yang sering dihubungkan dengan penyakit atropi.
c.
Telinga, telinga tengah dapat merupakan penyulit rinitis alergi.
d.
Hidung, adakah tanda-tanda misalnya: allergic crease, allergic shiners, allergic facies.
e.
Mulut dan orofaring, pada rinitis alergik, sering terlihat mukosa orofaring kemerahan,
edema. Palatum yang cekung kedalam, dagu yang kecil serta tulang maksila yang
menonjol kadang-kadang disebabkan alergi kronik.
f.
Dada, diperiksa secara infeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Pada
waktu serangan asma kelainan dapat berupa hiperinflasi, penggunaan otot bantu pernafasan.
g. Periksa tanda-tanda vital
terutama tekanan darah.
8.
Pemeriksaan Diagnostik.
a. Pemeriksaan pada jumlah
leukosit dan hitung jenis sel.
b.
Pemeriksaan sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung, sputum.
c.
Pemeriksaan serum Ig E total dan Ig G spesifik.
9. Kebutuhan Pernafasan
Dikaji
apakah pasien mengalami gangguan pernafasan, sesak, atau batuk, serta ukur
respirasi rate.
10. Kebutuhan Makan
Dikaji apakan ada riwayat alergi terhadap makanan
tertentu. Dikaji
pula apakah
klien menghabiskan porsi makan yang telah disediakan RS, apakah pasien
mengalami mual atau muntah ataupun kedua-duanya.
11. Kebutuhan Minum
Dikaji kebiasaan minum pasien sebelum dan saat berada di
RS, apakah ada perubahan (lebih banyak minum atau lebih sedikit dari biasanya).
12. Eliminasi (BAB / BAK)
Dikaji pola buang air kecil dan
buang air besar.
13. Gerak dan aktifitas
Dikaji apakah pasien mengalami
gangguan/keluhan dalam melakukan aktivitasnya saat menderita suatu penyakit
(dalam hal ini adalah setelah didiagnosa mengalami alergi) atau saat menjalani
perawatan di RS.
14. Rasa Nyaman
Dikaji kondisi pasien yang
berhubungan dengan gejala-gejala penyakitnya, apakah pasien merasa nyeri. Jika
iya, lanjutkan dengan pengkajian komprehensif (PQRST).
15. Pengetahuan
Dikaji tingkat pengetahuan pasien
tentang penyakitnya yang diderita saat ini dan terapi yang akan diberikan untuk
kesembuhannya. Dikaji pula pengetahuan tentang pencegahan alergi. Dan faktor
pemicu alergi.
3.2
Diagnosa
keperawatan.
1.
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
terpajan allergen
2.
Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
3.
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi
dermal, intrademal sekunder
4.
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (
allergen).
3.3
intervensi keperawatan
1.
Ketidakefektifan
pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen
Tujuan
: setelah diberikan askep selama ........ diharapkan
pasien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang
normal.
Kriteria
hasil :
ü Frekuensi
pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
ü Pasien
tidak merasa sesak lagi
ü Pasien
tidak tampak memakai otot bantu pernapasan
ü Tidak
terdapat tanda-tanda sianosis
Intervensi
:
a. Manajemen jalan napas.
1.
Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan ekspansi
paru. Catat upaya pernapasan, termasuk pengguanaan otot bantu/
pelebaran masal.
2.
Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas
adventisius seperti krekels, mengi, gesekan pleura.
3.
Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi (posisi
semi fowler atau fowler).
4.
Observasi pola batuk dan karakter secret.
5.
Ajarkan batuk efektif.
6.
Lakukan hisap secret secara periodik pada pasien tidak
sadar.
Kolaborasi:
1.
Berikan oksigen sesuai kebutuhan.
b. Manajemen Asma.
1. Kaji
pola napas pasien. Identifikasi bersama pasian tentang penyebab serangan asma.
2. Anjurkan
pasien untuk menghindari pemicu asma.
3. Identifikasi
bersama pasien tanda dan gejala sebelum serangan dan ajarkan pasien cara
menanganinya.
Kolaborasi:
1. Berikan
obat bronkodilator.
2. Berikan
nebulizer saat periode akut.
c. Manajemen Alergi.
1. Identifikasi
alergi yang diketahui pasien.
2. Anjurkan
pasien untuk melaporkan laergi yang diketahui pada petugas kesehatan.
3. Pakaikan
gelang alergi pada pasien.
4. Catat
riwayat alergi dalam rekam medis pasien.
5. Anjurkan
pasien mengikuti semua prosedur pengobatan.
6. Waspadai
adanya reaksi anafilaksis.
7. Berikan
pertolongan segera jika terjadi reaksi anafilaksis.
Kolaborasi:
1. Kolaborasi
pemberian obat anti alergi.
2. Kolaborasi
pemberian adrenalin segera jika terjadi reaksi anafilaksis.
2. Hipertermi
berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan
: setelah diberikan askep selama .....................
diharapkan suhu tubuh pasien normal.
Kriteria
hasil :
ü Suhu
tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC)
ü Napas
pasien dalam rentang normal.
Intervensi :
1.
Pantau suhu pasien ( derajat dan pola )
2.
Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen
tempat tidur sesuai indikasi
3.
Berikan kompres hangat.
4.
Anjurkan pasien banyak minum.
Kolaborasi:
1.
Berikan terapi antipiretik sesuai instruksi.
3.
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agen
farmaceutikal, gangguan metabolisme.
Tujuan
: setelah diberikan askep selama .......................
diharapkan pasien tidak akan mengalami
kerusakan integritas kulit lebih parah.
Kriteria
hasil :
ü Tidak terdapat kemerahan, bentol-bentol dan odema.
ü Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria, pruritus dan angioderma.
ü Kerusakan integritas kulit berkurang.
Intervensi
:
1.
Periksa kulit adanya kemerahan, luka, oedema.
2.
Berikan perawatan terhadap luka.
3.
Jaga kebersihan luka.
4.
Anjurkan pasien untuk tidak mengenakan pakaian yang
terlalu ketat.
4.
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera
biologi ( alergen).
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ........... diharapkan nyeri
pasien teratasi
Kriteria
hasil :
ü Pasien menyatakan dan menunjukkan nyerinya hilang
ü Wajah tidak meringis
ü Skala nyeri 0-1
ü Hasil pengukuran TTV dalam batas normal, TTV normal
yaitu :
Tekanan darah : 140-90/90-60 mmHg
Nadi : 60-100 kali/menit
Pernapasan : 16-20 kali/menit
Suhu : (36,1-37,50C)
Intervensi
:
1.
Ukur TTV
2.
Kaji tingkat nyeri (PQRST)
3.
Berikan posisi yang nyaman sesuai dengan kebutuhan
4.
Ciptakan suasana yang tenang
5.
Bantu pasien melakukan teknik relaksasi.
Kolaborasi:
1.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga.
FKUI. Jakarta
Carpenito LD.1995.Diagnosa
Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta: EGC.
Bulechek, Gloria et all.2013. NURSING INTERVENTIONS CLASIFICATION
edisi bahasa indonesia. Ed. 5. Jakarta: mocomedia.
Moorhead, Sue et
all.2013. NURSING OUTCOMES CLASIFICATION
edisi bahasa indonesia. Ed. 5. Jakarta: mocomedia.
NANDA,
2015, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.edisi 10. Jakarta: EGC.
Price & Wilson.2003.Patofisiologi
konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2.Edisi 6.Jakarta:EGC.
Smeltzer, Suzanne C. (2002). Buku
ajar medikal bedah Brunner Suddarth/Brunner Suddarth’s Texbook of
Medical-surgical. Alih Bahasa:Agung Waluyo…..(et.al.). ed 8 Vol 3 Jakarta: EGC.
Sylvia
Price, d. L. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
(Volume 2 ed.). Jakarta: EGC.
EmoticonEmoticon